Jumat, 24 Oktober 2008

Menangkap Penyihir

Libur sekolah merupakan waktu yang menyenangkan. Tapi pada libur kali ini, bagi Dodot waktu yang menyebalkan. Dia harus menunggu rumah, karena orang tuanya ada acara mendadak yang harus dihadiri. Padahal mereka sudah janji, kalau hari ini mau mengajak Dodot mengunjungi nenek.

Selama ini Dodot memang belum pernah bertemu nenek. Mengingat Dodot lahir di luar negeri, dan baru dua minggu ini balik ke Indonesia mengikuti tugas Papanya. “Sibuk melulu. Kapan jadinya ke rumah nenek...!” gerutu Dodot.

Suasana sepi dan kondisi rumah yang masih berantakan, yang membuat Dodot merasa bosan beraktifitas. Main mobil-mobilan? “Bosan!”
Melukis pemandangan? “Juga bosan.”
Ya sudah, main PS (play station) saja. “Aaaah...pokoknya, bosan bosaaan...!”

Rasa bosan itu, masih ditambah lagi dengan cuaca mendung di luar. Di sela tiupan angin tanda akan turun hujan, tiba-tiba petir menyambar dengan keras. Dodot terlonjak kaget. Badannya terasa gemetaran. Dodot memang paling benci mendengar suara petir. “Uuuh...Mama kok lama banget sih,” katanya.

Hari yang mulai gelap akibat langit mendung, makin menciutkan nyalinya. Dengan gelisah, Dodot menyibak horden jendela kamarnya untuk melihat suasana jalanan di depan rumah. Suasananya sepi, tak ada orang yang lalu-lalang. Tapi tunggu dulu. Mmm...siapa ya yang berdiri di seberang jalan itu?

“Kenapa orang itu melihat rumahku terus?” kata Dodot. Orang di seberang jalan itu terlihat tajam memperhatikan rumahnya.
“Jangan-jangan...,” Dodot tidak berani melanjutkan kata-katanya. Segera horden dia tutup. Dodot ingat cerita dari Budi dan Iwan, dua teman baru dia kenal di lingkungan rumah, kalau sekarang banyak penculikan.
“Iiih, ngeri...,” katanya.

Penasaran, Dodot kembali mengintip ke luar rumah. “Ah, nggak mungkin penculik. Dia sepertinya kan orang tua, melihat tubuhnya yang agak bongkok. Tapi kenapa dia memakai jubah?” katanya.
“Nah betul kan, pasti dia penyihir. Lihat! Dia memegang tongkat besar. Benar, dia penyihiiir...,” teriak Dodot sambil kembali menutup horden dan mengunci jendela.

Segera dia bangkit dan berlari ke ruang tamu, serta mengunci semua pintu dan jendela yang sebelumnya sudah tertutup. Lalu, kembali Dodot berlari ke kamarnya dang langsung membenamkan wajahnya di balik bantal. Namun tiba-tiba, “Tok tok tok...tok tok tok.” Pintu rumahnya di ketuk!

Dengan perasaan semakin ngeri, Dodot mengintip ke luar. “Ha...penyihir itu menghilang! Nggak ada di seberang jalan? Berarti...berarti, yang mengetuk rumah si penyihir, dan mau masuk rumah...!” katanya sambil kembali menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

Tapi ketukan pintu semakin keras. Dan kali ini diiringi suara keras wanita. “Tok tok tok...Dodot kenapa pintunya dikunci? Kan masih siang...?”
“Apa anak itu pergi ya? Tapi kemana?” timpal seorang pria.
“Oh, itu kan suara Mama dan Papa. Mamaaa...!,” kata Dodot sambil berlari membuka pintu.

Belum lagi kedua orangtuanya masuk rumah, Dodot nyerocos menceritakan tentang penyihir di seberang jalan. Mendengar itu semua, Pada maupun Mama hanya tersenyum saja. “Sudahlah Dodot. Tidak usah berkhayal. Waktu sudah menjelang sore. Lebih baik kamu bersiap-siap. Ingat kan...hari ini kita mau bertemu nenek?” kata Mama.

Berkali-kali Dodot meyakinkan orangtuanya. Tapi tetap saja mereka tidak percaya akan penyihir itu. Bahkan mereka terus ke kamar dan menyiapkan segala yang diperlukan untuk bepergian. “Wah, gimana nih? Bahaya sudah mengancam, mereka masih tak sadar. Aduuuh...,” kata Dodot kebingungan.

Dodot pun memutuskan kembali ke kamarnya. Kemudian dengan rasa penasaran, dia kembali mengintip keluar, dan...penyihir itu kembali berdiri di seberang jalan! Bahkan, dia mengangkat tangan kirinya yang tidak memegang tongkat. “Gawat, sepertinya dia sudah mulai merapal mantra dan siap menyihir. Saya harus menyelamatkan Papa-Mama...!” kata Dodot.

Kembali Dodot berlari keluar kamar, “Saya harus menemui Budi dan Iwan untuk membantuku.” Dodot pun keluar rumah dari pintu belakang, dan pergi ke taman, tempat biasa kedua temannya bermain.

Seperti diperkirakan, ke dua temannya memang sedang asyik bermain walaupun cuaca lagi mendung. Segera Dodot menceritakan tentang penyihir di depan rumah. “Kita harus mengalahkannya,” jelasnya sambil membeberkan rencananya.

“Dot, saya takut...” kata Iwan.
“Ah...dasar penakut!” kata Budi.
“Kalau kamu mengikuti rencana, nggak bakalan bahaya,” jelas Dodot meyakinkan.

Akhirnya mereka sepakat. Waktu itu juga mereka berjalan mengendap-endap dari arah berbeda ke arah penyihir. Setelah menyebrang taman dan melewati tanaman perlu, Dodot sudah sampai persembunyiannya, tak jauh dari penyihir berdiri.

Sesaat kemudian dia berteriak bak Indian, “Hu hu hu huuu...!” Secepat kilat, Dodot langsung bergerak ke arah penyihir dan merebut tongkatnya. Pada waktu bersamaan, dari lokasi berbeda, Budi dan Iwan segera menubruk penyihir dengan memegang dua kakinya. “Hai anak-anak, kalian mengapa? Hai jangan begitu, saya bisa jatuh...!” kata si ‘penyihir’ kebingungan.

“Horeee...tongkatnya sudah saya rebut. Berarti dia nggak bisa menyihir lagi,” kata Dodot penuh kemenangan.
“Wah, kakinya ternyata menginjak tanah. Berarti nenek ini bukan penyihir jahat dong?” kata Budi sambil berpaling kepada Dodot.

Ribut-ribut di pinggir jalan tersebut ternyata menarik perhatian masyarakat di lingkungan itu, termasuk orangtua Dodot. “Hai, ada apa ini?” tanya Mama Dodot sambil menyibak beberapa tetangga yang sudah ada di situ.
Sebelum ada yang menjawab, sang Mama melihat seorang perempuan yang duduk kebingungan sambil dipegang Dodot, Budi dan Iwan. “Lho, ibu kok ada di sini?” katanya kepada ‘penyihir’, “ayo anak-anak lepasin. Ini neneknya Dodot...!”

Sambil melepas pegangannya Dodot terbengong, dan menjauh dari ‘penyihir’. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan Mamanya, “Nenek...?”
Kembali dia lihat si ‘penyihir’, seorang perempuan tua dengan wajah penuh kerut ketuaan, tubuhnya yang sedikit bongkok terbalut baju batik terusan dengan kerudung yang serasi. Tongkat ‘ajaib’ yang direbutnya, ternyata hanyalah payung besar dalam kondisi tertutup.

“Murni...saya tidak tahu, kenapa tiba-tiba anak-anak ini mengerubuti saya,” kata nenek kepada Mamanya Dodot. “Murni, saya memang langsung ke rumahmu sesuai alamat yang kamu beri. Saya sudah tidak sabar bertemu dengan cucuku...,” kata nenek.

“Iya, tapi kenapa ibu tidak mengabari kita dulu?” kata Murni.
“Nggak ada gunanya. Kamu sudah berkali-kali janji mau segera ke rumah, nggak jadi-jadi gitu. Sibuk inilah, sibuk itulah...,” kata nenek menggerutu, “tapi sudahlah. Sekarang mana cucuku...?”

“Dodot, kenapa kamu bengong saja. Hayo, sapa nenekmu. Kamu kan sudah berkali-kali menanyakannya?” kata Murni.
“Ooo...itu ya cucuku. Aduh gantengnya...,” kata nenek sambil berusaha berdiri untuk mendekati Dodot, “saya sebenarnya di depan rumahmu menjelang siang tadi Marni. Saya mengagumi rumahmu, besar dan tertata rapi. Tapi saya dengar dari tetanggamu, kamu sekeluarga baru keluar rumah. Jadi saya tunda ke rumahmu, dan saya tunggu di sini.”

Setelah berhenti sejenak, nenek melanjutkan penjelasannya. “Saya sempat meninggalkan tempat ini untuk makan di warung. Nah, waktu kembali lagi saya melihat cucuku dari balik jendela itu. Tapi waktu saya melambai, eh...dia langsung menghilang. Dan beberapa saat kemudian, cucuku ini dengan teman-temannya mengajakku bermain-main, he he he...,” tawa nenek menunjukkan giginya yang telah ompong, sambil membelai kepala Dodot.

“Nek...maafkan saya. Saya kira...saya kira, nenek adalah...,” kata Dodot terputus karena tenggelam dalam rangkulan nenek yang telah lama dia rindukan. Banyak yang ingin Dodot sampaikan, tapi semua tersumbat dikerongkongan. Yang pasti, perasaannya bahagia sekali. Walau sungai kecil mengalir di atas pipi ranumnya, tapi senyumnya terkembang, penuh rasa bahagia.

Senin, 01 September 2008

Pengakuan Seorang Pembunuh: "Saya Melakukannya Karena Terpaksa"

Saya sudah tidak kuat lagi menyimpan perbuatan saya dari orang lain. Wajahnya yang pucat dengan mata terbeliak selalu terbayang di benakku. Apalagi mayatnya tidak saya kubur selayaknya. Dibantu istri, jasadnya saya angkat dan saya tinggalkan di kebun kosong di pinggiran Depok, hanya saya tutupi daun-daun pisang yang ada di sekitar situ.

Ya, sehari sebelum Ramadhan kemarin, 31/8, saya melakukan pembunuhan. Saya tahu kalau ini perbuatan dosa. Apalagi menjelang bulan suci. Tapi saya tak rela bila memang saya harus disidang dikenakan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) pasal 340, tentang pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal seumur hidup. Terus terang, saya melakukannya dengan amat terpaksa. Sekali lagi, terpaksa.

Korban, si tunawisma (kalau boleh saya katakan demikian, karena memang tidak mempunyai rumah permanen yang layak) memang keterlaluan. Setiap hari dia mengais makanan di rumah saya. Saya juga membiarkannya mengambil beberapa tanaman produktif yang saya tanam di pekarangan, bahkan sering merusaknya.

Tapi tunawisma itu tidak pernah berterimakasih atas segala kebaikan saya itu. Sudah diberi hati, ingin ampela. Ngelunjak! Padahal dia waras, nggak gila. Bermula dari beberapa waktu lalu ada tamu yang datang ke rumah melapor, kalau dia sering digoda oleh si tunawisma. Saya telah memberinya peringatan. Bukannya kapok, dia malah sering menggoda siapa saja yang datang ke rumah. Bahkan ada yang berteriak-teriak saking takutnya. Karena peristiwa itu saya telah mengusir si tunawisma, dan saya wanti-wanti untuk tidak datang lagi ke rumah.

Sayangnya dia tidak mempunyai moral. Entah karena marah, dia mencangkuli pekarangan rumah. Ini saya tahu, awalnya karena laporan dari tetangga. Terakhir, saya sering mendapati (maaf) ‘tai’ atau kotoran besar teronggok di pojok beranda samping. Semula saya tak curiga, ya paling ada yang iseng. Tapi perbuatan ini terus berulang. Yang kena getahnya adalah istri, karena harus selalu membersihkan. Anak saya yang baru berumur dua tahun juga kena getahnya. Terkadang si kecil ketahuan memegang ‘barang warisan’ itu yang mungkin dikira mainan. Ggrrrkhh..!!!

Benar, bila Anda mengatakan saya pasti berprasangka buruk pada si tunawisma yang saya usir beberapa waktu lalu. Tapi akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri, dia melakukan perbuatan nista itu, setelah saya mengadakan pengintaian. Malam itu si tunawisma mengendap-endap memasuki pekarangan, menuju beranda rumah. Di balik rimbunnya tanaman pandan wangi, dia meninggalkan ‘warisannya’.

Saya sejak sore, dibantu beberapa teman, telah menyiapkan pemukul. Sayangnya, malam itu ada teman yang mungkin gemas, segera keluar untuk menghajar si tunawisma. Melihat gelagat kurang baik itu dia segera kabur, meloloskan diri.

Coba, bagaimana saya tidak jengkel. Sesabar-sabarnya orang ada batasnya. Apalagi mendengar omelan istri, karena harus bersih-bersih. Yah, rangkaian peristiwa itu seolah menutup akal warasku. Saya tidak mau kasar, tapi saya tidak mau melihat batang hidung si tunawisma itu selamanya, titik…!!!

Dua hari sebelum kejadian, saya membeli racun, saya pilih yang paling manjur. Terserah bila Anda bilang saya kejam. Nah, malam menjelang Ramadhan kemarin, saya sediakan makanan yang dulu menjadi kesukaannya, tapi kali ini sudah saya bubuhin racun. Saya yakin bila dia mau puasa pasti mencari makanan, dan bila berani datang ke rumah dia akan mendapati hidangan di depan rumah, yang saya kemas seolah makanan sisa kita.

Tepat perkiraan saya, malam itu dia datang dan tanpa ba bi bu atau permisi, dia santap makanan itu. Kurang ajarnya, sempet-sempatnya dia meninggalkan ‘warisan’ sambil tertawa-tawa tertahan. Biarin, mampus lu! Kataku dalam hati. Benar saja, belum sempat keluar dari pintu pagar, dia ambruk, mati. Selanjutnya, ya seperti saya ceritakan tadi, saya buang mayatnya.

Memang sampai sekarang, perbuatan saya ini belum ada yang mengetahui. Baik tetangga maupun kepolisian. Kecuali Anda dan istri saya. Tapi istri saya, saya tegaskan, tidak terlibat perbuatan ini. Ini perbuatan saya. Kini saya yakin, mayatnya sudah diketemukan, entah dimuat di media apa nggak, saya nggak mau tahu. Karena sejak kejadian itu saya memang tidak berani membaca media.

Kalaupun nanti yang berwajib mampu mengusut perbuatan saya ini, saya akan langsung mengaku. Tanpa ada yang harus saya tutup-tutupi. Bahkan barang bukti, berupa sisa racun, mangkok, dan lainnya tetap saya simpan, untuk memudahkan pengusutan. Saya pun telah meninggalkan beberapa pesan buat istri dan anakku, bila memang saya harus ditangkap ataupun harus mendekam dalam penjara.

Terus terang dalam hati terdalam ada penyesalan atas perbuatan itu. Tapi juga kelegaan tikus ‘tunawisma’ itu sudah tiada. Ada sih, kekhawatiran balas dendam kawanan tikus teman-temannya menyerbu ke rumah, tapi masa bodoh ah. Itu dipikir belakangan saja. Selamat jalan tikus, semoga perbuatanku ini kamu maafkan.

NB: Maaf teman-teman, mohon perbuatan saya ini jangan diceritakan kepada pihak berwajib dan orang lain, terutama anak-anak. Sangat riskan. Cukup Anda saja yang tahu. Terimakasih atas pengertian teman-teman.

Senin, 11 Agustus 2008

“Menghormati Anak”

To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice

Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan

Santri Pendongeng dari Ponorogo

Sempat banting setir ke dunia jurnalistik, Muhammad Yusron Muchsin akhirnya meraih kesuksesan di dunia dongeng yang dirintisnya sejak nyantri di Pondok Modern Gontor. Keikhlasan menjadi kunci rahasianya.

Menjadi seniman seakan menjadi panggilan hidup Muhammad Yusron Muchsin. Sejak nyantri di Pondok Modern Gontor (1984-1992), lelaki kelahiran Ponorogo tiga puluh tahun yang lalu itu seperti tak lepas dari dunia seni dan hiburan. Ia aktif di komunitas Teater Islam Darussalam (Terisda).

Atraksi serunya waktu duduk di kelas 5 Gontor pernah mempesona teman-temannya sesama santri. Waktu itu, ia menyajikan atraksi sulap dengan menggergaji orang dengan gergaji besai yang besar dan panjang. “Kiai Hasan Abdullah Sahal sendiri yang memastikan bahwa gergaji yang dipakai untuk atraksi itu sungguhan,” kenangnya.

Yusron juga termasuk orang yang ikut mengenalkan seni pantomim dan tarian break dancebreak dancebreak dance dengan musik mulut. Ternyata sambutannya luar biasa. Banyak yang suka,” paparnya. sehingga tidak dilarang oleh Pondok. Berkat kreativitasnya, pantomim dan akhirnya bisa diterima dengan baik di Gontor. “Saya ubah musik yang mengiringi tarian

Dari aksi-aksi itulah nama Yusron menjadi sangat terkenal di kalangan santri Pondok. Ia biasa dipanggil “Yusron PO” (Ponorogo). Sebuah penanda sekaligus penghormatan, karena dialah satu-satunya santri asal Ponorogo yang memiliki kelebihan menirukan suara-suara mirip suara aslinya, seperti suara alam, transportasi, alat perang, binatang, orang tua, nenek-nenek, anak kecil, dan banyak suara lainnya.

Ketemu Didi Petet

Setelah lulus dari Gontor tahun 1992, keinginan Yusron untuk meningkatkan bakat seninya makin kuat, terutama seni pantomim. Waktu itu, tidak banyak komunitas pantomim di Indonesia. Salah satunya, didirikan oleh Seno Utoyo dan Didi Petet. “Saya harus bertemu mereka di Jakarta,” tegasnya.

Yusron akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta. Selain belajar kesenian pantomim, Yusron juga kuliah dan bekerja. Ia masuk Fakultas Ekonomi Universitas At-Tahiriyah sekaligus menjadi penyiar radio At-Tahiriyah. Di sela-sela itu, Yusron terus mencari informasi tentang sosok Seno Utoyo dan Didi Petet.

Akhirnya, ia dapat bertemu dengan Didi Petet di kediamannya di daerah Pamulang, Tangerang, Jawa Barat. “Waktu itu saya menunggu dua hari satu malam di masjid dekat rumahnya, dan bertemu di pagi harinya,” jelasnya.

Gayung pun bersambut. Didi Petet menyambut baik keinginan Yusron untuk belajar seni pantomim. Oleh Didi Petet, Yusron dikenalkan kepada Yayuk, kolega Didi Petet di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pertemuan Yusron dengan pria yang biasa disapa Mas Yayuk ini ternyata menjadi awak karir Yusron di dunia seni nasional.

Yusron mengikuti latihan teknik-teknik dasar pantomim dengan tekun dan sabar. “Saya pernah belajar berdiri selama berjam-jam di tengah terik matahari demi melatih kekuatan kaki,” papar putra dari Drs H Soejoto Muchsin dan Hj Sitta Sutarti ketika ditemui Gontor di kantornya.

Suami dari Rahma Erfiyani ini juga mengaku banyak belajar dari Ratna Sarumpaet, dengan berlatih dalam Teater Satu Merah Panggung yang diasuhnya. Ia pun sering bermain dengan Ebet Kadarusman untuk mendampingi show-nya di Jakarta maupun luar Jakarta.

Di sela-sela itu, Yusron juga sempat mendirikan kelompok seni “Alibaba”. Bersama 5 temannya, Alibaba pernah tampil di beberapa tempat, seperti Taman Ismail Marzuki, Taman Mini Indonesia Indah, Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol, dan panggilan di beberapa perusahaan.

Tersapu krisis moneter

Tapi, ketika krisis moneter tahun 1997 merontokkan sendi-sendi perekonomian Indonesia, Yusron pun terkena imbasnya. Kontrak kerja untuk mengisi salah satu stasiun televise terpaksa putus begitu saja. Kelompok seni yang ia dirikan juga terkatung-katung dan akhirnya bubar.

Akibatnya, kelima teman Yusron keluar dan mencari jalan sendiri-sendiri untuk tetap hidup. Demikian juga dengan Yusron. Pria yang kini tinggal di daerah Cimanggis, Depok, ini sempat banting setir menjadi penjual pakaian dan bahkan wartawan di Harian Umum Pelita.

Namun begitu, profesi wartawan tidak ia jalankan dengan sungguh-sungguh. Keinginannya untuk berkarir di dunia seni dan hiburan ternyata lebih kuat. “Saya berpikir, kalau hanya jadi wartawan, mubazir dong tiruan suara yang pernah saya temukan di Gontor,” tandasnya kepada Gontor.

Pelan tapi pasti, Yusron kembali mencari dan menemukan dunia lamanya. Ia bergabung dengan Yayasan Bunda Yessi yang diprakarsai Yessi Gusman di daerah Gondangdia, Jakarta Pusat, dan Yayasan Darussalam, Jakarta. Karena sering bertemu anak-anak, Yusron sering memberikan dongeng kepada mereka. Di sinilah Yusron mulai tertarik mendalami seni mendongeng.

Bersama Yayasan Bunda Yessi maupun sendiri, Yusron kerap dipanggil untuk mendongeng di depan anak-anak. Ia sendiri heran mengapa anak-anak bisa tertawa ngakak setiap kali ia bercerita. “Padahal, dongengan saya biasa-biasa saja,” ujar pria yang kini akrab disapa “Kak Ucon”.

Dari situ, karir Yusron terus menanjak. Ketika Toko Buku Gramedia menggelar Seminar dan Pelatihan Dongeng (Maret 2005), Yusron diundang sebagai praktisi dongeng. Acara itu sukses besar. Yusron juga pernah menjadi anggota Dewan Juri dalam Lomba Dongeng tingkat nasional yang digelar di Bentara Budaya Jakarta (Juli 2005). Acara ini juga sukses besar. Hikmahnya, nama “Kak Ucon” semakin dikenal di dunia seni dongeng.

Selain di GRamedia, beberapa perusahaan juga mengundangnya untuk mendongeng, seperti Coca-Cola Indonesia, perusahaan susu Indomilk, Popeye’s di Cibubur dan masih banyak yang lainnya. Di Rumah Sakit Mitra Keluarga-Kelapa Gading, Jakarta, dan Rumah Sakit Dharmais-Jakarta, Yusron juga diminta untuk mendongeng pada anak-anak yang hamper dipastikan tidak punya kesempatan hidup lagi.

Wajah dan aksinya juga sudah masuk stasiun televise. Yusron pernah muncul di RCTI (Selamat Pagi/2005), Metro TV (Head Line News/2007), Trans 7 (Laptop si-Unyil/2007, dalam dua episode: Boneka dan Dongeng), El Shinta TV (Didaktika/2007), dan TV One (Dongeng Keliling/2008, dalam 12 episode). Tahun 2008 ini dongeng karyanya diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam sebuah buku. Ia juga telah melatih seni mendongeng sekitar 25 karyawan KPK, yang rencananya akan mengikuti road show dongeng.

Rahasia sukses

Yusron mengaku bersyukur, ketika nyantri di Gontor, masih sempat dididik oleh KH Imam Zarkasyi (almarhum). Dalam waktu yang singkat sebelum beliau wafat (1996), banyak sekali kenangan, petuah yang ia peroleh dari KH Imam Zarkasyi, baik pendidikan agama maupun motivasi-motivasi hidup.

Sebagai santri biasa, ia mengaku bahwa dirinya memiliki kemampuan otak yang pas-pasan. Saat belajar di kelas 2 ia tidak naik kelas, karena sakit keras. Begitu juga saat di kelas 5, ia kembali gagal naik kelas. “Sekolah yang seharusnya saya selesaikan 6 tahun harus molor sampai 8 tahun,” ujarnya.

Kenyataan itu ia terima apa adanya. Walau sedih, semangatnya tetap utuh. Ia teringat nasehat yang sering disampaikan Pak Zar, panggilan hormat untuk KH Imam Zarkasyi. “Berani hidup, tak takut mati. Takut mati, jangan hidup. Takut hidup, mati saja. Hidup sekali, hiduplah yang berarti”.

Menurut Yusron, petuah tersebut sangat dalam maknanya sehingga memotivasi dirinya untuk terus membangun inovasi dalam kehidupan. Demikian juga dalam mendongeng. Bagi Yusron, mendongeng adalah bagian dari hidupnya.

Ada satu rahasia sederhana dari Yusron soal mendongeng: mendongeng itu harus jujur dan ikhlas. Jika mendongeng dijalankan dengan ikhlas dan tidak ada niatan untuk membohongi anak-anak, maka dongengan kita akan diterima. “Anak-anak akan tahu jika mendongeng tidak dijalankan dengan keikhlasan,” jelas ayah dari Syahril Siddiq yang baru berusia 1,6 tahun ini.

Dimuat di Majalah Gontor, edisi 10 tahun V, Februari 2008, pada rubrik Sukses, halaman 42-43. Penulis: Ahmad Muhajir.

Pentingkan Buku Teori Dongeng? (jilid-2)

Maaf jika posting saya di milis Pendongeng tentang "Pentingkah Buku Teori Dongeng?", yang juga saya masukkan di blog-sebelum tulisan ini, kesannya sombong. Sebenarnya bukan itu maksud saya, tapi pancingan untuk berdialog - saling tukar pengalaman. Dan ini semoga menjadi masukan berharga bagi siapa saja yang peduli dengan dongeng dan berkeinginan untuk mendongeng.

Sepengetahuan saya, saat ini banyak kegiatan, pekerjaan, hingga cita-cita yang berhenti pada teori. Tahu cara terbaik melakukan sesuatu, setelah belajar, membaca banyak referensi, atau bertanya kesana-kemari, tapi tanpa ada tindaklanjut: praktek.

Seorang teman di Depok pernah ingin mendirikan restoran. Sebenarnya dia sudah mempunyai konsep yang matang, mengingat dia alumnus perguruan tinggi ternama jurusan tataboga, tapi dia tidak yakin. Beragam buku dia kumpulkan dan baca, dari masakan favorit, manajemen restoran, tata bangunan restoran, cara penyajian hidangan yang baik, hingga kisah sukses para pengusaha makanan. Tidak cukup dengan itu, dia pun ikut berbagai kursus tataboga yang diperkirakan sesuai dengan kelanjutan cita-citanya.

Sampai suatu saat, dia bilang pada saya, "Saya capek. Saya ingin mendirikan restoran...tapi sekarang saya jadi ragu-ragu untuk melanjutkannya. " Saat dia bilang begitu, seorang teman lainnya yang ada di situ hanya bilang, "Kenapa tidak langsung kamu lakukan?"

Seolah dia dihentakkan oleh sebuah kesadaran. Dan dia pun melakukan langsung, dengan mendirikan warung (bukan restoran seperti yang dia cita-citakan). Awalnya, dia kikuk. Tapi, sebagaimana pengakuannya, dengan praktek langsung, dia banyak diuntungkan: dia tahu persis yang diinginkan pelanggannya. Karena para pelanggan itu sering memberi masukan dari sisi rasa masakan, pilihan menu, hingga pelayanan. Maka, dia tahu apa kekurangannya yang harus diperbaiki, dan kelebihannya yang harus dia tingkatkan. Bahkan dia mengaku menyesal, kenapa bisnis ini tidak dimulai dari dulu.

Aa Gym, dalam biografinya juga pernah ragu untuk menerima tamu dari Timur Tengah, mengingat dia hanya bisa bahasa Arab sepotong-potong. Dia pun akhirnya berniat dalam hati, untuk langsung mempraktekkannya. Pertemuan pun terjadi. Aa Gym pun terlihat kagok saat dia bertanya/menjawab mengingat pengetahuan bahasa Arabnya terbatas. Tapi dia berujar pada tamu, kalau sedang belajar bahasa Arab. Di luar dugaannya, sang tamu bukan menyepelekkan atau menertawai, justru merasa salut kepada da'i muda itu.

Dalam mendongeng saya tidak melarang seseorang untuk membaca buku teori dongeng, selama dia bukan sekedar berhenti pada "teori", tapi benar-benar dipraktekkan. Memang dia dapat ilmunya, tapi tanpa praktek lambat-laun ilmu itu akan lupa. Dia akan rugi waktu, juga uang, bila memang dia berkeinginan bisa mendongeng.

Mendongeng sama saja dengan bertutur, bahkan bergosip pun juga mendongeng. Pada dasarnya semua orang bisa bertutur (baca: mendongeng). Mendongeng juga sering saya analogikan seperti bernyanyi. Untuk mulai bernyanyi di depan anak kita, atau di depan anak-anak tetangga, kita kan tidak harus seperti KD (Kris Dayanti), atau membeli buku-buku dulu? Untuk memulai bernyanyi di depan anak kita, cari nyanyian yang sederhana dan bernyanyilah sebaik mungkin (menurut kita), tanpa berpikir teori.

Sama dengan mendongeng. Mulailah dari cara yang sederhana, seperti membacakan buku dongeng kepada anak, meningkat mendongeng sebelum dia tidur, meningkat lagi mendongeng dengan duduk saat bersantai, dan seterusnya. Carilah cerita yang ada disekitar anak, dari sekolahnya, tempat bermainnya, dll. Saat itu jangan berfikir "teori", justru ini yang akan jadi beban, karena yang dilakukan saat itu sudah bagian dari teori, walau pun mungkin tidak disadari.

Saat itu, mungkin dia akan banyak menerima masukan dari si anak. Dari ceritanya yang tidak dia sukai, hingga penyampaiannya yang kurang tepat dilihat dari tanggapan anak. Di sini pendongeng dituntut untuk berkreasi, bagaimana agar anak tertarik dengan dongengnya: diselingi lagu, tari, memakai boneka, sulap, menirukan suara, berekspresi maksimal, dll. Sekali lagi, jangan berpikir teori dulu. Dan banyaklah belajar dari "guru kita", yaitu si anak atau audien itu sendiri.

Bila sambutan anak-anak telah memuaskan (menurut kita sendiri), cobalah baca buku teori dongeng atau bertukar pengalaman dengan rekan yang sebelumnya telah mendongeng. Di sinilah peran buku sangat penting, demikian juga saran dari si temen pendongeng. Carilah hal-hal yang belum kita lakukan dalam mendongeng melalui buku yang kita buka dan baca, lalu sempurnakan dongeng kita.

Dengan cara ini waktu kita tidak tidak terbuang hanya sekedar berteori, tapi kita telah menjadi bagian dari si pelipur lara "pendongeng" .

Ketika mendongeng, jangan berpikir dengan gaya mendongeng kita, atau meniru pendongeng yang telah ada. Bila meniru, yakinlah kita tidak akan bisa, karena masing-masing orang mempunyai pengalaman berbeda. "Gaya" mendongeng kita akan terbentuk dengan sendirinya, seiring dari kegiatan mendongeng yang kita lakukan. Dan dari cara mendongeng yang menurut kita paling baik, ya itulah "gaya" kita.

Sekali lagi maaf bila kurang berkenan, dan terkesan panjang-lebar saya berteori. Karena Anda seharusnya bukan membaca teori ini, tapiiii..... yoook praktek mendongeng!

Wallahu a'lam bissowab...

Jumat, 08 Agustus 2008

Pentingkah Buku Teori Dongeng?

“Gubraaag…!” Apakah masih ingat, berapakali kita jatuh-bangun ketika belajar mengendarai sepeda? Saya yakin jawabnya beragam, ada yang sering dan ada yang jarang jatuh karena belakang sepeda dipegangi kakak atau orang tua.

Belajar sepeda ini sering saya analogikan dalam belajar mendongeng. Untuk memulai dongeng melalui pengalaman saya -- dan selalu saya tekankan dalam setiap pelatihan dongeng – untuk tidak membaca buku/makalah teori dongeng. Biasanya seseorang usai membaca buku/makalah, selanjutnya:

1- Dia malah akan "takut" mendongeng, karena merasa tidak bisa melakukan dan mempraktekkan seperti yang disarankan dalam buku.

2- Dia makin penasaran tentang dongeng, dan akan mencari referensi buku/bahan lain sebagai perbandingan. Alih-alih dia akan mendongeng, setelah menguasai 'ilmu'-nya dia akan merasa sudah terpuaskan, tapi...ya itu tadi, tak ada praktek dongengnya.

Ada sedikit cerita. Walau nenek saya tidak sekolah dan tak mampu membaca, saya sangat menikmati saat-saat beliau mendongeng. Kunjungan ke rumah nenek, bagi saya merupakan liburan yang selalu ditunggu. Bila nenek telah mendongeng, semua anak –termasuk saya- pasti terpana. Saat itu, dalam hati, nenek saya memang tidak ada duanya.

Memulai mendongeng yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah praktek, praktek, dan…praktek. Niatkan dalam hati untuk mendongeng sebaik-baiknya di depan anak kita, anak tetangga, teman, dan lainnya. “Sebaik-baiknya dongeng” di sini menurut kita sendiri, bukan orang lain. Karena pada dasarnya semua orang bisa bertutur (baca: mendongeng), dan mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai orang lain, tergantung tempaan lingkungan, pengalaman, dan pergaulan.

Sukses atau tidaknya mendongeng, bisa dilihat dari tanggapan anak-anak. Apakah mereka senang, terhibur, atau sebaliknya? Dari tanggapan si kecil inilah kita bisa berbenah dengan berkreasi sehingga untuk mendongeng kedua, ketiga, dan seterusnya akan semakin bagus.

Apalagi, menurut saya, mendongeng tidak ada pakemnya. Maka, tidak usah heran bila melihat para pendongeng ternama di negeri ini cara penyampaiannya beragam. Pak Raden dan Kak Andi Yudha mendongeng sambil melukis. Kak Kusumo biasanya mendongeng dengan peraga orang berkostum katak, burung, dll. Putri Suhendro dengan kelembutan keibuannya. Kak Seto dengan suara wibawa dan lagu-lagunya yang merdu. PM Toh dengan tutur kata khas Acehnya.

Cara penyampaian para pendongeng ternama tersebut merupakan kelebihan mereka, sesuai –seperti yang saya katakana sebelumnya-- tempaan lingkungan, pengalaman, dan pergaulan. Dan kita bisa melakukan, karena kita mempunyai kelebihan yang tidak mereka punyai sesuai pengalaman kita.

Kapan buku/makalah teori dongeng penting bagi pendongeng? Bagi saya sebuah buku teori dongeng akan penting bagi pendongeng, setelah dia praktek beberapa kali mendongeng. Beberapa kali ini tak ada patokannya, yang penting kita merasa anak-anak yang kita dongengi dengan cara kita (sekali lagi “cara kita”) merasa terhibur. Saat itulah kita sudah bisa membaca buku teori mendongeng.

Buku teori dongeng merupakan kumpulan dari pengalaman si penyusun selama dia mendongeng. Setelah kita merasa sukses mendongeng, kita bisa mempelajari kekurangan kita melalui pengalaman si pendongeng/penyusun buku. Saya yakin bila ini kita lakukan, banyak anjuran atau tip-tip mendongeng dari pendongeng telah banyak yang telah kita praktekkan. Beberapa cara mendongeng kita, juga bisa jadi perlu penyempurnaan. Dan juga bisa jadi, dalam praktek mendongeng kita ada kelebihan yang tidak dipunyai si pendongeng.

Maka bila mau mulai mendongeng, merupakan kesalahan bila Anda membaca tulisan saya ini. Karena yang harus Anda lakukan praktek, praktek, dan…(yok kita teriakkan bersama-sama) prakteeek…!!!

Rabu, 06 Agustus 2008

Pesta di Peternakan (Cerita-9)

Hari itu terjadi kesibukan di peternakan. Ya, Kakek Tulus panen. Sejak pagi Bocil Kerbau menarik pedati, mengangkut padi dari sawah. Keluarga merpati dan ayam tentu merasa senang, karena padi tertumpuk bertundun-tundun.

Kesibukan itu berlangsung sampai senja hari. Ketika penghuni peternakan siap tidur, tiba-tiba Kakek Tulus masuk kandang. "Hewan peliharaanku. Mensyukuri panen dan kesembuhan Lintar Merpati, besok malam kita mengadakan pesta!" kata Kakek Tulus. Serentak hewan-hewan bersorak gembira.

Besok harinya, hewan-hewan sibuk berlatih yang akan ditampilkan di pesta. "Wah, saya tak bisa konsentrasi. Nanti malam saya ingin cantik," kata Boni Ayam. Kepada Lintar Merpati yang hinggap dekat situ, ia berkata, "Lintar, kamu ke hutan dong. Pinjemin saya pada burung merak beberapa helai bulunya, untuk mahkotaku."

Tak mau kalah, si Gembul Kambing juga punya permintaan, "Saya pinjamkan jubah pada kuda zebra. Bila kukenakan, wuih...pasti saya gagah."

"Jangan lupa, saya mintakan ramuan pada buyutku ayam hutan, agar suaraku makin nyaring saat bernyanyi di pesta?" pesan Jago si ayam jantan.

Si Lintar jadi terbengong. "E eee...! Kenapa semua bingung. Dalam pesta kita tak perlu berlebih-lebihan. Kita tampil apa adanya," kata Bocil. "Buat baju dari benda-benda di sekitar kita. Penonton lebih melihat pertunjukan dari pada baju."

"Panggungnya gimana?" tanya Moli Kera. "Mmm...kenapa tak menjadikan punggungku sebagai panggung?" kata Bocil. Semua hewan menyetujuinya.

Malam hari di depan peternakan terlihat meriah. Beberapa obor dinyalakan, terlihat indah menimpali sinar bulan purnama. Di atas balai-balai bambu, Kakek Tulus dan Suci menunggu aksi peliharaannya. Hanya saja, mereka ada dimana ya?

"Moooh!" teriak Bocil membuka pintu kandang memulai pertunjukan. Diawali dengan akrobat putar wortel oleh Cici Kelinci di punggung Bocil yang jadi panggung dadakan. Disusul Moli yang main drama bersama Embek dan Gembul. "Terus teruuus...!" teriak Kakek Tulus.

Bersamaan dengan itu rombongan kunang-kunang datang membuat formasi kembang api di angkasa. Hewan kecil pembawa lampu itu diam-diam diundang Gembul untuk pesta. Ia juga mendatangkan pemusik penghuni sawah, katak dan jangkerik.

Pesta makin meriah karena hewan-hewan mengenakan baju lucu-lucu. Penonton makin kagum melihat koor ayam-ayam cilik, mengiringi si penyanyi Jago dan Boni. Tiba-tiba, wow...lihat di angkasa! Lintar bersama teman-teman merpatinya terbang beratraksi seperti kapal terbang, di sela kunang-kunang.

Pertunjukan diakhiri dengan nyanyi bersama diiringi katak dan jangkerik. "Pertunjukan bagus. Sederhana tapi meriah!" puji Kakek Tulus yang berdiri diantara peliharaannya sambil bertepuk-tangan. "Terimakasih semuanya. Sekarang kembali ke kandang, dan...tidur yang nyenyak," kataya mengakhiri malam yang indah penuh kenangan itu.

Nasehat Kakek Tulus:

Keceriaan dan kesenangan tidak selalu harus dalam kemewahan. Dengan kebersamaan dan dalam kesederhanaan, serta selalu bersyukur kepada Tuhan, kita juga mampu mendapatkan kebahagiaan.

Karya Kakak bersama rekan di KOKADO (Komunitas Kajian Dongeng) ini terangkum dalam buku ”Cerita dari Peternakan Kakek Tulus” yang diterbitkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)